23 Januari 2008

IRONI

Kami duduk berlima di dalam sebuah restoran cepat saji. Hawa AC yang dingin membuat kami nyaman. Sambil berkelakar, seorang diantara kami bertutur tentang jenis mobil baru yang diiklankan sebuah koran lokal. Betapa bagusnya. Betapa cantiknya. Betapa nyamannya. Dan waktu kami lewati dalam lupa. Lupa bahwa kami baru saja mengunjungi suatu keluarga yang tak mampu. Seorang ibu yang sedang sakit dan merintih terus menerus tetapi keluarganya tak mampu berbuat apa-apa. Tidak ada dana. Tidak ada pengobatan. Hidup hanya diserahkan dalam doa. Menunggu datangnya suatu keajaiban dari Tuhan yang diimaninya. Dan kami imani juga. Ironi.

Tawa kami mengisi ruang kosong dari restoran ini. Seorang anak yang kelihatannya baru berusia 7 atau 8 tahun, datang menjajakan koran dan majalah kepada kami. Seseorang dari kami bertanya, "Hey nak, kamu tidak sekolah? Kenapa sesiang ini hanya berkeluyuran di sini?" Dan dia memandang kami semua, menggelengkan kepalanya, dan menjawab, "Saya berjualan koran pak, untuk membeli makanan bagi keluargaku. Bukan berkeluyuran..." Kami pun terdiam. Dan seseorang diantara kami lalu membeli satu majalah yang dijajakannya. Anak itu pun berlalu dari hadapan kami yang kini berganti topik pembicaraan mengenai ikan-ikan louhan. Ah, ikan-ikan louhan dan anak-anak yang tak mampu untuk sekolah. Tidak ada dana. Tidak ada pendidikan. Hidup hanya diserahkan dalam waktu. Dan nasib. Dan ketidak-berdayaan. Ironi.

Hidup memang sebuah ironi yang tajam. Ironi antara Lazarus dan orang kaya. Ironi antara para pendosa dan kaum farisi. Pun ironi antara teori dan kenyataan. Di mana kedua sisi saling tidak memperdulikan. Bahkan terkadang saling bertentangan. Kita sering merasa seakan-akan menghayati penderitaan mereka. Kita seakan-akan memberikan rasa simpati pada pergulatan mereka untuk hidup. Tetapi sering hanya seakan-akan dan seakan-akan. Sementara itu, hidup bagi kita hanya berkisar seputar apa yang kita nikmati sehari-hari. Penyakit dan kemiskinan tidak pernah kita sentuh sama sekali. Barulah jika suatu saat jika kita sendiri mengalaminya, mungkin kisahnya akan lain sama sekali. Tetapi mungkin jika saat itu tiba, segalanya sudah terlambat......

Yesus menjawab mereka: "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. (Mat 11:4-5). Demikianlah sabda Yesus itu mengiang dalam hatiku saat teringat pada hal-hal itu. Ironi yang muncul ketika ada orang sakit yang ditolak oleh sebuah RS hanya karena tidak mampu menyiapkan uang muka pengobatan mereka. Ironi yang muncul ketika ada anak yang pandai ditolak masuk ke sebuah sekolah hanya karena orang tuanya tidak sanggup membayar mahal. Ironi betapa kini materi lebih berjaya daripada iman dan kasih. Ironi karena ternyata kita sendiri tidak berdaya untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Kristus sendiri sebagai teladan bagi kita, saudara-saudariNya. Ironi.

Maka menjelang saat kita memperingati hari kelahiran penyelamat kita, selayaknya kita merenung dan bertanya dalam hati. Adakah sungguh Kristus adalah Gembala kita? Jika kita akui itu maka, mengapakah kita tidak mampu melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh Yesus sendiri? Mengapakah kita berdiam diri saat menghadapi penderitaan sesama? Mengapakah kita tidak tergerak untuk membantu ketidak-berdayaan sesama? Mengapakah hati kita sedemikian kerasnya sehingga, bukannya ikut berkarya, tetapi sering kita malah hanya saling menyalahkan dan saling menyudutkan satu sama lain? Natal telah menjelang. Berapakah harga pohon cemara dan segenap asesoris yang memenuhi ranting pohon itu? Apakah itu lebih bernilai dari jiwa yang dapat kita bahagiakan dengan nilai yang sama?

Pada akhirnya, ingatlah bahwa, seekor domba yang tersesat jauh lebih bernilai dari pada sembilan puluh sembilan domba yang ada. Dan manusia jauh, jauh lebih berharga daripada domba. Atau ikan louhan. Atau mobil yang baru. Atau bahkan apa saja. Sebab manusia adalah citra Tuhan sendiri. Maka semoga kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dan merenungkan jawaban-jawabannya. Dan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Gembala kita sendiri. Dengan begitu kita dapat menyambut kelahiranNya dengan suasana baru di dalam hati kita semua.

Kami berlima telah meninggalkan restoran cepat saji ini. Langit mendung. Hujan mulai merintik. Sayup-sayup di kejauhan, terdengar alunan lagu: "Merry, Merry Christmas everybody......."

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...