18 Januari 2008

KERUT DI GARIS WAJAH

(Buat Opa dan Oma tercinta)

Panas menyengat siang itu. Aku ikut menghadiri sebuah piknik lokal bersama para Lansia se parokiku. Para opa dan oma yang berkumpul di siang hari yang terik itu nampak berseri-seri. Wajah-wajah tua tetapi dengan semangat yang tetap tinggi. Mereka saling bercanda, melempar guyon dan tertawa lepas. Udara panas di tepi waduk Bili-Bili seakan tak terasakan. Karena ada angin berhembus lembut. Ya, selalu ada angin yang membelai lembut pada wajah-wajah yang kian ditelan usia itu.

Seraut wajah tergaris kerut. Seraut wajah termakan waktu. Impian apakah yang masih disimpannya? Harapan apakah yang tetap dirindukannya? Kenang-kenangan masa lalukah? Atau sekedar kepasrahan menyongsong masa depan? Sementara waktu melintas dengan cepat, hati di balik tabir wajah itu mungkin menyadari betapa dekat akhir dari segalanya. Dan tak terduga. Tetapi toh, kerut di garis wajah itu tak mampu menyembunyikan denyut-denyut kehidupan manusia. Kehidupan yang membutuhkan kasih, perhatian dan pengabdian. Dan di atas segala-galanya, iman yang teguh dan kian berkobar bersama dengan laju sang waktu yang menghangati penggalan-penggalan kehidupan yang mungkin dingin, lembab dan beku.

    Sang waktu telah mengawali. Sang waktu pula yang akan mengakhiri. Sang waktu meluncur terus ke depan. Menuju akhir. Dan seraut wajah yang telah melewati jarak yang panjang bersamanya, akan menyadari saat kerut demi kerut mulai bermunculan. Setiap kerutan yang menyimpan pengalaman dari kehidupan. Dan setiap pengalaman berisi kepedihan dan kegembiraannya sendiri. Tetap hidup. Keduanya membaur, menyatu dalam satu satu jejak kehidupan. Itulah riwayat. Sebuah sejarah. Maka sepotong episode kehidupan yang berdiri kokoh berlandaskan iman akan selalu menghasilkan buah-buah kesegaran rohani bagi generasi-generasi selanjutnya. Wajah dengan kerut itu menyadari pula kenisbian jasad ini. Bahwa:


 

    Pada akhirnya toh,

    Kita jadi lelah, tua dan akan mati

    Keributan yang menggigit akan

    Meninggalkan udara, lenyap di balik angin


 

    Pada akhirnya toh.

    Kita hanya sebongkah daging yang akan membusuk

    Bisu dalam kenangan sejarah

    Lelap ke balik waktu yang abadi

    Dan sirna


 

    Pada akhirnya toh,

    Kita menyerah sebagai manusia

    Lalu bersembunyi dalam padatnya bumi

    Dan bungkam

    Sebagaimana awalnya dulu


 

    Tetapi cahaya masih dan tetap akan muncul. Dan tak mempan tersembunyikan. Kalian adalah pelita yang menyala di atas gantang. Karena hidup toh, takkan pernah berakhir tanpa guna. Ada yang akan selalu dikenang dalam bentuk nyala yang telah kalian buat. Telah menghangatkan sejarah kehidupan kami. Dan nyala itulah yang telah menghangatkan kami, anak-anak dan cucu-cucumu yang seringkali ponggah dan merasa tahu akan segala sesuatu, walau belum mengalami terpaan-terpaan dunia. Namun dengan wajah yang masih mulus tanpa kerut, kami dapat mengenal cinta kalian yang lembut. Dan itu semua adalah bekal bagi kami untuk mengabdi kepada kehidupan ini. Kehidupan yang sungguh tidak mudah. Menantang. Tetapi ah, mengalami adalah sesuatu yang indah, bukan?

    Angin semilir membelai wajahku. Angin semilir membelai wajah-wajah tua itu. Angin semilir membelai wajah kami semua. Maka memandang wajah-wajah yang penuh kerut itu, tiba-tiba aku menemukan lautan harapan. Bahwa hidup sesungguhnya tak mampu untuk menaklukkan kita. Bahwa kita tak semestinya dikalahkan hanya oleh cobaan-cobaan yang kita alami. Waktu akan segera lewat. Maka apa yang telah dialami oleh para lansia itu, patutlah menjadi teladan bagi kita semua. Baik atau buruk. Benar atau salah. Sebab,


 

    Bagaimanapun, kita telah ada

    Dan hidup

    Walau kelak kita akan sirna

    Sejarah tak lagi mampu

    Menghapuskan kita


 

    Sebab Dia yang menciptakan

    Akan mengingat ciptaanNya

    Bahkan mengurbankan diri baginya

    Maka jika akhirnya kita sirna kelak

    Hidup kita toh, tetap abadi

    BersamaNya


 

Terima kasih atas segala yang telah kau berikan kepada kami, opa dan oma. Mohon maaf atas garis-garis kerut di wajahmu yang muncul karena tingkah pola kami. Kami, anak-anak yang senantiasa nakal dan bertingkah namun tetap kau cintai. Anak-anak yang sering memberontak hingga semakin menambah kerutan di wajahmu, namun tetap kau keloni. Opa dan oma yang terkasih, betapa kami menyampaikan terima kasih atas pemberianmu bagi hidup kami. Dan maaf atas segala hal yang telah kami berikan padamu.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...