21 Januari 2008

JANGAN PERGI MARTIN

"Tidak, jangan pergi Martin, jangan!"

Kudengarkan suaranya dengan heran. Suara yang mucul tiba-tiba. Seakan dari ujung hidup dan terus bergema di sela kekakuan ragaku. Wanita memang teramat asing bagiku. Dan walaupun telah lama hidup bersama, tak juga kukenali dia sedalam-dalamnya. Jika aku sanggup untu berkata, tentu akan kutanya dia demikian:

    "Mengapa istriku? Mengapa tak kau biarkan aku pergi?

    "Sebab aku mencintaimu Martin"

    "Tetapi aku juga mencintai Tuhan. Dan kini aku akan menemuiNya sekarang"

    "Jangan, oh, belum lagi waktunya Martin"

    "Mengapa kau tahu bahwa sekarang belum waktunya? Tuhankah kau?"

Begitulah, mungkin jika aku bisa bertanya jawab dengannya. Tetapi tak ada suara yang sanggup kukeluarkan saat ini. Otot-otot kerongkonganku terasa tidak lagi saling berhubungan dengan otakku.Aku melihat dia, samar-samar, memandangku. Air mata mengembang di pipinya. Dia terisak-isak, membuat rohku tertarik ke dalamya bagaikan bola magnit.

Menjelang malam, aku merasakan demam melanda seluruh pori-poriku. Pandanganku mengabur. Anehnya, yang nyata saat itu hanyalah pita warna-warni. Sungguh indah. Sungguh asing pula. Itukah cahaya Ilahi yang siap menarikku? Aku melayang ke sana. Kabut warna biru meliputi seluruh tubuhku. Biru langit, biru laut, biru keabadian, biru kesayanganku, biru. Pita-pita warna-warni ini terus memeluk pinggangku, menarikku ke atas, mengambang di lapisan kabut ini. Di kejauhan, kulihat segugus cahaya, bagai setangkai bunga bakung, sedang mengambang di angkasa. Tiada suara. Hening. Tenang. Damai. Suatu nada tunggal di mana aku mengambang dan terus menari di antaranya.Aku melayang ke gugusan cahaya yang putih keemasan itu. Meluncur terus dan terus.

Mendadak di depanku terhamparlah gerbang keabadian. Aku menyaksikan jutaan roh yang menari dan bernyanyi bersama. Suatu koor indah, sempurna tanpa cela, suatu alunan nada: "Kyrie Eleison...." Di depan gerbang, terjalin dari benang sutera cahaya, nampaklah dua orang pengawal surgawi. Mereka mengenakan baju zirah bening tanpa warna. Di wajahnya yang tenteram, satu kulihat rona fajar dan yang satu lagi rona senja. Pada bola mata mereka membayang aroma cinta yang menyegarkan. Dan tanpa terasa aku menjadi amat ingin istirahat di depannya. Kedua belah kakiku menjadi lemas dan aku jatuh terduduk bagai kapas yang melayang jatuh. Suatu kerinduan tiba-tiba menyergapku. Suatu kerinduan yang datang dari jauh.

Mereka mendatangiku sambil membawa rasa kasih di depan pancaran zirahnya yang sedemikian bening itu. Si rona fajar bertanya padaku,

    "Hendak kemana engkau anak manusia?"

"Hendak menjumpai rinduku wahai malaikat anggun. Menjumpai Bapa dan saudaraku"

"Telah tunaikah kau lunasi hidupmu di bumi, anak manusia?"

"Telah tunaikah kau lunasi segala beban yang ditalentakan kepadamu?"

Aku tidak tahu. Aku berpikir sejenak. Mendadak wajahnya terbayang. Wajahnya yang pucat dengan linangan air mata di pipinya. Kekasihku di bumi. Anehnya, segala kecerewetannya kulupakan. Kulihat dia berdiri dengan kedua belah tangan terbuka. Ada sebuah tulisan yang terbentang di dadanya. Istrimu tercinta, tulisan itu sedemikian indahnya.

Mendadak sebuah beban yang tak nampak memberati pundakku. Kakiku yang tadi demikian lemas kini mampu kugerakkan lagi. Dan rohku luluh dalam ketidakberdayaan menghadapi suatu panggilan. Lalu, ada suara yang menggema dalam hatiku:

"AnakKu engkau, tugasmu belum lagi tuntas. Haruskah kau melarikan diri dari tanggung jawab duniawimu? Ada saat untuk berduka. Ada pula saat untuk berbahagia. Percayalah padaKu. Tugasmu di bumi belum lagi usai. Talenta-telantamu belum cukup terpakai. Belim cukup untuk menemaniKu di sini. Kembalilah. Bumi masih menantimu"

Tiba-tiba kurasakan sebuah tiupan angin kencang mendorongku pergi. Aku melayang kembali, menerobos simpang siur aneka warna dan kabut yang membuat aku terengah-engah. Cahaya di seputarku berpendaran. Dan hamparan kabut biru itu perlahan lenyap. Dan samar-samar aku merasakan suatu tindisan yang perih di kedua belah tanganku. Aku melihat roda waktu berbalik serupa sandiwara yang tak berujung. Menampakkan diri dari bayang satu ke bayang lain. Saat demi saat. Suatu lengkungan hidup yang tak terbatas kembali menarikku kembali. Perlahan, suatu gelombang keperihan menusuk jantungku. Aku pun berseru-seru:

    "Ibu, Ibu!"

    "Ayah, Ayah!"

    "Istriku, Istriku!"

    "Dimanakah kalian?"

    "Hidup, ooo hidupku, tertarung aku"

Kini saatnya tiba kembali bagiku untuk membelah takdir. Kubuka kedua belah tanganku. Kubuka lebar ruang dadaku. Tidak, aku bukan seorang asing. Aku bukan seorang yang yang tak dikenal. Aku bukan dari ketiadaan untuk kembali ke ketiadaan. Bukan! Aku adalah sesosok insan. Salah satu dan bukan yang lain. Aku sama dengan siapa saja walau tetap berbeda dengan siapa pun.

Kini aku balik ke alamku. Padang tandus bukan lagi sebuah rintangan. Badai bukan lagi suatu ancaman. Hidup, kelak pasti akan terputus. Tetapi ada cinta, cinta yang abadi yang akan selalu menarikku kepada diriku sendiri. Ada sesuatu yang hilang dalam diriku, yang akan kusambung kembali.

Kini, kubuka lebar kedua mataku. Kutatap wajah yang mengitariku. Betapa bedanya mereka yang masih saja sama. Wajah itu kini tersenyum. Ah, selamat datang kembali Martin.

Masa kritisku telah lewat. Kini kusaksikan wajah-wajah yang akrab padaku, melemparkan senyum bahagia. Dokter telah berusaha, kata mereka, dan berhasil. Istriku pun telah melarangku pergi, katanya, dan berhasil. Kini aku kembali ke dunia ini dengan seluruh kepasrahan untuk menerima apa saja yang akan menghelaku. Hidup memang adalah cinta.

    "Ooo, jangan pergi Martin"

    "Tidak, aku belum akan pergi. Tugasku belum tuntas"

Istriku menatap aku dengan penuh rasa gembira dan syukur. Kutemukan diriku dalam pelukannya. Anak-anakku meloncat di samping ranjangku sambil menepuk-nepuk tanganku. Hidup telah menyebarkan aromanya yang mewangi. Hidup sejuk dan nyaman, bagai kedamaian yang ada di tepi kolam saat mentari pagi mengurapinya. Aku menunggu saat kesembuhanku dengan sabar.

Malam ini, kebosanan sedang melandaku. Setelah aku sembuh, hidup berulang kembali dalam kemonotonan yang sama. Maka aku merasa sesuatu di dalam hatiku berbisik, memanggilku untuk menemui kawan-kawan lama dulu. Istriku duduk di depanku, sedang merajut di atas sofa panjang yang empuk. Tak ada acara bagus di program TV. Hari-hari kembali seperti sediakala. Aku, suami, dia, istri, bertumpu di lingkaran yang sama, tirai semu yang sulit terkoyakkan. Irama kehidupan menyempit pun pada ruang yang sama dan tetap, berputar dalam waktu yang sama: setiap hari.

Karena itu, aku lalu bangkit dari dudukku dan berkata kepada istriku:

"Malam ini aku ingin keluar untuk mencari angin dan kabar baru. Aku rindu berjalan-jalan ke tempat masa laluku, menemui keakraban sahabat-sahabat duluku. Aku mau menjumpai masa laluku yang telah lama sirna"

"Tidak, jangan pergi Martin, jangan!"

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...