23 Januari 2008

PULANG

    Tujuh belas tahun. Waktu lewat seperti sungai yang mengalir. Ingatan terbakar bagai api dalam sekam. Melintasi sejarah kehidupan, berkelok-kelok di hamparan nasib. Aku menjejakkan kaki di trotoar terminal bis ini dengan perasaan hampa. Tujuh belas tahun telah silam ke masa lalu. Rasa kehilangan ini kini menghimpit dadaku. Inilah kotaku. Inilah tempat aku menghirup nafas pertamaku. Tempat dimana aku berkeliling tanpa kehilangan arah. Di sini tersembunyi kenangan, mimpi dan harapan, sesuatu yang hanya dapat dihapus oleh maut.

    Wajah-wajah asing memandangku. Kini aku hanya sepotong kecil daging yang terasing dari tubuhnya. Aku hanya sepenggal kehidupan yang terlupakan oleh ingatan kota ini. Aku terus berjalan menyisiri kaki lima sambil memandang ke kiri dan ke kanan. Aku menyadari kekakuanku di tanah kelahiranku sendiri. Segala sesuatu telah berubah tetapi toh masih ada juga yang tetap sama. Di kejauhan kulihat gunung-gunung masih tegak berdiri. Seakan menantang sang waktu. Dan menyembunyikan rahasia dunia. Dia menyimpan kenangan buat dirinya sendiri. Angin lalu, angin lalu. Kersik suara dedaunan pohon palem. Apakah yang tersimpan di balik segala bunyi ini selain dari keheningan abadi? Kini, di depan pertokoan yang ramai, dulu hanya sebuah pasar kecil yang hanya dipenuhi keriuhan sekali seminggu, aku berdiri dan menikmati keterasinganku.

    Masa kemarin tak mungkin balik lagi. Masa kemarin telah tertidur lelap, terbenam dan terlupakan di balik selimut kenangan. Dan kini, saat kenyataan mencoba untuk membukanya kembali, terbelah dualah tabir kehidupan. Saat-saat hampa. Saat-saat yang dipenuhi isak tangis dan tawa ria. Saat-saat di mana semangat dan keputus-asaan saling bergulat, saling menyatu seakan hidup ini hanya diciptakan bagi mereka. Dan kitalah, sang manusia, yang diciptakan dengan cinta sering memisahkan diri darinya.

    Beberapa saat sebelumnya, aku masih berdiri di depan rumah kontrakanku, di ibukota yang panas. Dan sebuah telegram tiba. Saat itu udara belum disibukkan untuk menerima asap-asap polusi yang menebar hingga di paru-paruku. Aku menghirup nafas dengan dalam lalu menyobek sampul telegram itu. Bunyinya ringkas saja: "Segera pulang, ibu sakit keras" Aku terpana. Jantungku berdetak keras. Aku lalu duduk diam-diam di balai bambu samping jendela pondokanku.

    Masa silam menyelinap dengan lembut dalam kenanganku. Kukenang ibuku yang perlahan masuk ke dalam kamarku di suatu malam yang kelam sambil membawa lilin (saat itu di tempatku belum tersedia aliran listrik). Dia mengangkat lilin itu tinggi-tinggi dan meletakkannya di atas gantang samping ranjangku. Cahayanya gemetar menciptakan suasana yang demikian lembut. Ibu lalu menyelimuti tubuhku dan mengecup keningku. Kemudian dia keluar setelah meniup padam lilin itu. Tetapi masih tersisa segaris cahaya, yang masuk dari celah-celah dinding kayu. Bulan sedang purnama. Cahayanya melukis suatu siluet indah di wajah ibu, garis putih memanjang menampakkan sepenggal raut yang yang keras dan kelembutan matanya. Ya, kelembutan matanya. Ah, takkan kulupakan saat itu. Tak pernah.

    Aku memejamkan mata dan berusaha mengusir rindu yang menusuk hatiku. Lalu kuputuskan untuk pulang. Kenangan memang manis walau dia sering menyembunyikan racun. Dengan terhuyung-huyung aku bangkit berdiri. Berangkat ke kantor. Setelah mengurus permohonan cuti selama dua minggu, tiga hari seterima telegram itu, aku pun berangkat. Pulang. Betapa indahnya kata itu bagi sementara orang. Tetapi bagiku sendiri, terselip rasa getir. Betapa kenangan sering merobek-robek jiwa. Betapa masa silam sering membawa aroma ketidak-tentuan akan nasib. Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di ibukota. Lalu bekerja di sana. Tak pernah lagi kujejakkan kakiku di tanah kelahiranku yang kini terasa kuno dan amat konservatip itu. Jaman telah berubah. Tetapi masa silam masih mengeram terus di tempat kelahiranku.

    Di atas KA, aku berupaya untuk sejenak lelap. Namun anganku terus menyeret aku ke masa lalu. Ayunan kenyataan hidup yang berat dan rasa rindu. Penyesalan dan kepentingan diri bertarung terus. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat dalam usia manusia yang singkat ini. Maka apa yang dapat kusimpan sebagai kenangan selain bahwa telah sepanjang itu pula kenyataan yang telah kualami sendiri? Sendiri dalam nasib. Sendiri dalam pengalaman.

    Kini, di sinilah aku. Depan rumahku. Seluruh kenangan keluar bagai gelombang air bah. Jantungku bergetar dalam rasa khawatir, rindu dan keengganan untuk menemui kenyataan yang ada. Rumah ini masih sama seperti dulu saat kutinggalkan. Kecuali warnanya telah mulai muram. Warna yang memudar, ditelan oleh sejarah. Halamannya yang kecil masih dipenuhi rimbunan pepohonan, ada bunga kenanga, jambu, mangga dan entah apa lagi. Aku tak pernah dapat menguasai ilmu perkebunan dengan baik. Sebaik ibu. Kebun ini masih terawat dengan baik. Rasanya kukenali sentuhan jemari ibu pada mereka. Sentuhan jemarinya yang lembut.

    Kemudian aku memandang pintu depan. Dengan terperanjat, aku melihat kerumunan orang yang sebagian besar terasa asing bagiku. Inilah luka yang telah bernanah. Inilah harapan yang telah tenggelam dalam isak tangis. Aku melihat bendera putih tepat di samping pintu depan. Suatu perasaan perih menikam jantungku. "Ibu, ibu, ini aku datang. Aku, anakmu yang hilang telah kembali. Sambutlah..." Tetapi suaraku tersekat di kerongkonganku. Aku ingin segera masuk, berlari sekencang-kencangnya. Tetapi kedua tungkaiku mendadak lumpuh. Tiba-tiba aku mendengar satu suara, suara yang tidak asing bagiku walau telah sedemikian lama tak lagi kudengar: "Mbak Rina, Mbak Rina pulang......"

    Kutoleh pandanganku. Dan kulihat Isti, adik perempuanku berlari menghampiriku. Dan memelukku. "Ibu, Ibu telah......." Dia tak mampu melanjutkan kalimatnya yang tenggelam di balik isak tangisnya. Aku merasa tikaman di jantungku kian dalam menusuk hingga ke hati. Perih, amat perih. Aku berusaha untuk mengeraskan hatiku untuk tidak larut ke dalam duka ini. Aku pun melangkah masuk sambil membimbing adikku. Banyak wajah asing memandangku. Dan di sudut, dekat peti jenasah ibu, aku melihat ayahku berdiri bersama seorang perempuan muda. Aku membuang muka. Wajah-wajah lain melihatku seakan melemparkan tuduhan. Aku tersalib di sini. Di depan jenasah ibu. Di depan jenasah yang kini kutatapi dengan pedih. Inilah jasad dari mana aku berawal, hidup dan hingga saat ini. Inilah lengan yang pernah membelaiku, mulut yang sering berkata, "Rina anakku." Dan matanya, matanya yang lembut itu, kini tertutup rapat. Wahai, derita apakah yang telah ditanggungnya? Pikiran apakah yang telah dibawanya pergi? Mengapakah hidup harus berjalan terus walau tak sesuai dengan keinginannya semula? Mengapa ini semua harus terjadi?

    Tubuh ini kini terbujur kaku. Lengannya mendekap dadanya. Raut wajahnya yang keras kini melembut. Angin dari kipas angin di samping peti jenasah mengusap rambutku. Inilah kenyataannya. Ibu telah pergi dan takkan kembali lagi. Takkan pernah lagi dia dapat menantiku. Aku terpana, berdiam diri dengan sejuta penyesalan menyesaki dadaku. Betapa ingin kusampaikan padanya jutaan kalimat rindu. Jutaan kalimat yang dulu pernah ingin kututurkan padanya tetapi tak mampu kuucapkan. Aku menutup mataku dan menyadari kehampaan ini. Akhir dari segalanya hanyalah maut. Maut yang tak pernah kusadari. Kini dia datang, bermuka-muka denganku, namun tak mampu kusapa. Aku berdiri dan tak sadar lagi saat tiba-tiba air mataku mengucur deras. Air mata. Waktu. Maut. Diam. Kalimat-kalimat yang tak terucapkan. Rindu. Larik kehidupan yang telah terpenggal.

    Prosesi pemakaman berlangsung sederhana. Ayahku menyampaikan beberapa patah kata sebagai ucapan terima kasih. Dan perempuan yang berdiri di sampingnya terus menundukkan kepalanya. Apa lagi yang harus dituturkan? Kata-kata ditata seringkas mungkin. Dari tanah kembali ke tanah. Kepulan debu. Peti jenasah diturunkan. Liang diisi dengan sendokan tanah. Menggunung. Daun-daun kemboja berguguran di atas timbunan tanah itu. Jenasah ibu telah terbenam ke dalam bumi. Istirahat yang abadi. Angin sore berhembus. Waktu berlalu. Kisah berawal. Dan berakhir di sini. Apa lagi yang tersisa sekarang? Kenangan? Rasa duka yang perlahan sirna? Aku tak tahu. Dan takkan pernah dapat mengetahuinya. Rahasia hidup ada di tangan Dia, sang Maha. Rahasia hati ada di lubuk terdalam sanubari kita. Takkan mampu tersentuh oleh siapa pun. Tak pernah.

    Maka mengenang kembali segala kejadian di masa lalu seakan merobek luka hati yang telah mengering. Biarlah hidup dijalani dengan jujur. Toh, dia takkan pernah lagi akan datang, tetapi kitalah yang akan menemuinya kelak. Di suatu waktu yang lebih baik. Di suatu tempat yang lebih damai. Peristiwa hidup di bumi hanya melintas sesaat. Dan kita hanyalah peziarah. Peziarah yang menghadapi hidup ini sendirian. Waktu pun menutup pintu tanpa salam. Malam telah tiba.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...