23 Januari 2008

KEMARAU

    Terik membakar bumi. Sepi mengambang di udara. Debu berterbangan disapu angin. Jalanan senyap. Rerumputan merunduk. Dedaunan gugur. Melayang ke tanah. Gersang. Dia duduk di beranda. Matanya menatap satu titik di kejauhan. Jiwanya hampa. Putus asa. Tanpa cinta. Diam-diam memeluk sepi, hatinya menangis saat mecoba menjenguk masa lampaunya. Satu-satunya kepastian yang dimilikinya hanyalah sesal. Hari ini hanya menyisakan satu bayangan muram. Dan hari esok menghadang kekelaman. Tak tertembus. Dia pun mengguman, setengah menggugat: "Mengapa aku mesti hidup jika segalanya kulalui dalam kesia-siaan? Ya, mengapa aku harus lahir jika hanya duka yang merundung tak henti-hentinya? Demi takdir? Nasib? Dapatkah dia kujadikan sebagai kambing hitam selamanya? Apakah itu berguna bagi penderitaanku? Apakah hanya aku sendiri yang bersalah? Aku? Aku?"

    Kusaksikan wajah itu dari balik kaca jendela saat mengunjungi sebuah RS Rehabilitasi Korban Narkoba. Seorang dara manis dengan wajah kosong. Dari riwayat yang dituturkan kepada kami, dia anak seorang jutawan yang cukup terkenal. Kehidupan keluarganya berantakan. Orang tuanya telah berpisah lama berselang. Dia terhimpit dalam kondisi jiwa yang amat labil. Dalam situasi demikian dia tenggelam dalam kehidupan malam bersama kelompoknya. Mencari kedamaian dan kebahagiaannya. Mencari tempat untuk merebahkan keresahannya. Mencari dan mencari. Tetapi…….

    Akupun terkenang satu malam yang gerah. Dengan ditemani seorang kawan, aku mengunjungi sebuah diskotik yang meriah. Musik berdentam. Keras dan bingar. Denyut jantungku terpacu kencang. Asap rokok berkeliaran di ruang ber AC itu. Cahaya lampu berpendar, hidup mati. Ratusan wajah berlintasan di depanku. Penuh derai tawa namun terasa kosong. Senyum tersungging pada mulut serupa topeng menutupi kesunyian diri. Tubuh-tubuh yang bergerak, menari tanpa nada. Mengikuti hentakan lagu. House Music. Tangan-tangan berkeplokan. Lengan-lengan bertautan. Udara dipenuhi dinding tebal kepalsuan. Pelarian dari kenyataan hidup yang menghimpit jiwa. Wanita. Pria. Berbaur. Bergoyang. Memalsukan hidup masing-masing. Menyembunyikan duka masing-masing. Tenggelam ke dalam gelombang rasa yang menghanyutkan penalaran. Hilang. Lelap. Lelap……

Bersalahkah mereka karena telah hidup? Bersalahkah mereka karena telah dilahirkan?

    Kembali dari kenangan itu, kurasakan suatu kepahitan memenuhi jiwaku. Kehidupan yang kita alami berlangsung sesuai dengan pilihan kita sendiri. Kita memiliki, sebagai anugerah dari Tuhan, kehendak bebas. Apapun yang kita hadapi saat ini adalah pilihan kita. Bukan orang lain. Memang, sering situasi lingkungan kian mempengaruhi dan menyeret kita ke dalam lingkaran ketaksadaran. Namun, sekali lagi, kita selalu memiliki hak untuk memilih. Dan jika pilihan itu salah, pantaskah kita tangisi? Jelas tidak mudah untuk menentang lingkungan itu. Tetapi jika kita sadar, jika kita mau mencari jawaban atas segala kemelut yang kita alami jauh di dalam nurani kita, maka kita akan mendapati tuntunanNya. Tuhan tidak masa bodoh. Kitalah yang masa bodoh terhadap pilihan yang ditawarkanNya. Dalam kekesalan kita, dalam kesepian dan duka lara kita, kita justru meninggalkan Dia untuk menggauli barang-barang kimia itu. Sebab itu, tangisilah apa yang mesti ditangisi tetapi jangan merajuk. Kita hidup dengan kebebasan kita. Untuk melawan atau menyerah. Untuk bersamaNya atau melepaskanNya. Semua terserah pada kita sendiri.

    Perlahan debu mulai mengendap. Pusaran angin melemah. Dan rerumputan kembali tegak. Tetapi terik masih membakar. Dan kemarau masih panjang. Kemarau masih panjang…..

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...