21 Januari 2008

SEBUAH CERITA DARI DESA KECIL

    Kehidupan datang dan pergi dalam irama waktu. Lima tahun lalu, saat pertama kali mengunjungi desa kecil ini, beberapa bangunan batu belum lagi berdiri. Jalan yang membentang di sini, satu-satunya jalan beraspal, nampak bolong di sana-sini. Suatu onggokan batu sungai nampak menyolok di suatu sisi dekat persimpangan sebuah jalan kecil yang mengarah ke sungai. Dulu, di sana ada sebuah rumah papan. Berdiri di atas empat tiang dari kayu jati dengan kusen jendela berwarna biru muda. Di sanalah kukenal seorang perempuan muda yang bernama Ola. Usianya mungkin sekitar belasan tahun. Dan dia memiliki sepasang anak kembar.

    Pertemuan pertamaku terjadi pada suatu senja. Saat itu, aku ingat, langit berwarna jingga dan di sudut dimana jejeran palma tumbuh, kegelapan mulai hadir. Untuk membuang sepi, aku susri jalan kecil itu sambil menikmati kesegaran udara petang. Jauh di ujung horison, langit bertemu dengan bukit yang membentuk siluet kelabu. Saat itu sang surya telah menghilang dan hanya menyisakan seberkas cahaya yang indah di barat. Beberapa ekor seriti mengambang di lautan mega.

    Di persimpangan itulah aku bertemu dengan dia. Seorang perempuan muda dengan dua orang bayi. Satu sedang dipangkunya. Lainnya tergolek dalam ayunan kain yang terikat kedua ujungnya pada tiang penyangga rumah itu. Aku menghampiri dia dan berkata:

    "Selamat sore"

    "Sore"

    "Segar sekali udara di sini yah"

    "Uu...uhm, anda baru datang kemari?"

    "Ya, saya dari kota. Baru datang kemarin untuk meninjau kebun PT itu"

    "Kerasan?"

    "Lumayan, walau bagiku yang dari kota tempat ini amat sepi"

"Memang beginilah kehidupan dusun. Lain dengan kota yang selalu sibuk. Di sini baru ramai kalau ada pesta"

"Ah, kalau mau ramai, malam ini juga boleh"

"Bagaimana?"

"Bakar rumah, pasti ramai he..he.."

"Ha...ha... ada-ada saja"

Kemudian suasana menjadi hening setelah kami kehabisan kata. Langit di atas kepalaku kian mengelam. Suasana yang tenag itu mendadak dipecahkan oleh tangis bayi di pangkuannya. Maka diapun bangkit berdiri dan berkata:

    "Aku masuk rumah dulu ya. Mau mampir?"

    "Ah, tidak usahlah kali ini. Oya, namaku Robby"

    "Namaku Ola. Selamat malam kalau begit"

    "Ya, selamat malam juga"

Dia pun menghilang ke dalam rumahnya setelah mengambil bayi yang tergantung di ayunan itu.

    Di pondokanku, kemudian, aku berusaha untuk mengorek keterangan tentang perempuan itu dari opa tua yang menurus akomodasiku selama di desa ini. Maka inilah kisah yang kudapat:

    Ola, putri bungsu dari keluarga Sompie-Kodoati yang memiliki dua orang putera dan putri. Ayahnya mantan kuntua di desa kecil itu. Dia seorang yang berwatak keras dan berangasan. Kesukaannya pada minuman keras makin menjadi-jadi setelah dia gagal terpilih kembali sebagai kuntua. Istrinya telah meninggal lima tahun lalu. Abe, kakak Ola sering dipukuli sehingga pada suatu hari dia lari ke kota. Sejak itu Abe tidak pernah lagi terdengar beritanya. Ayahnya pun tidak ambil pusing dengan kepergian anak sulungnya itu. Maka selama ini hanya Ola yang merawat ayahnya. Sepeninggal istrinya, dia memang tidak lagi menikah. Tetapi dia dikenal sebagai si penggoda karena sering mengusili wanita lain. Tidak terhitung berapa banyak wanita yang pernah digodanya. Tetapi selama ini dia masih belum juga memilih pengganti istrinya.

    Pada usia yang tujuh belas, Ola pacaran dengan Buang, anak opa tua yang saat ini rumahnya kutempati. Mereka kemudian putus tanpa diketahui sebabnya. Kemudian Ola gonta ganti pacar tetapi tidak juga mendapat jodohnya. Tidak diketahui secara pasti mengapa tiba-tiba dia hamil. Saat itu seluruh desa geger. Tetapi Ola bungkam saat ditanya siapa yang bertanggung jawab atas kehamilannya itu. Ola membisu dan terus membisu sehingga seluruh penduduk desa kecil itu selalu mencibirnya. Tetapi waktu lewat dan seperti biasa, kejadian itu pun dilupakan. Sampai waktunya kemudian Ola melahirkan sepasang anak kembar, keduanya laki-laki. Peristiwa itu diikuti dengan anjloknya harga cengkeh sehingga berita tentang kelahiran itu tenggelam di balik keresahan masyarakat desa kecil itu, yang menggantungkan hampir seluruh hidup mereka pada perkebunan cengkeh. Itu sudah lewat sembilan bulan lalu.

    Demikianlah kisah tentang Ola, perempuan muda yang kutemui senja itu. Aku menjadi penasaran untuk mengetahui rahasia kehidupannya. Di samping itu, aku menyenangi pandangan matanya saat bertemu tadi. Mata yang berbinar dan menandakan kecerdasan yang tajam. Maka pertemuan pertama dengan Ola pun disusul dengan pertemuan kedua, ketiga sehingga tak terasa aku kian akrab dengan dia. Keakraban itu kemudian tersebar menjadi isu di desa kecil itu. Tetapi aku saat itu tidak terlalu memperhatikan. Setidaknya, kami tidak melakukan hal yang melanggar norma. Bagaimana pun, aku tidak memilki perasaan lain karena kami bisa memahami keadaan masing-masing. Sering kami bertemu di bawah pohon coklat, di tepi kuala sambil menatap deras air kali yang mengalir turun dari atas sebuah tebing terjal dekat sana.

    "Hidup mirip arus jeram" katanya suatu hari. "hidup meluncur dari ketidakpahaman dan akan berujung di dasar yang bergolak. Manusia memang makhluk munafik. Dan sering dia tak menyadarinya. Topeng kita adalah kepura-puraan. Manusia sering berlagak tahu akan sesuatu padahal apa yang diketahuinya hanya permukaan air yang tenang saja. Siapa yang tahu bahwa, ujung aliran ini akan berakhir di dinding tebing yang terjal? Dan seberapa banyakkah manusia yang sudi basah, sudi mengalami sendiri aliran air yang bergolak itu? Tidak, tidak banyak kukira. Kebanyakan ingin aman, duduk dengan tenang menikmati panorama alam sambil menilai-nilai. Baik atau buruk. Benar atau salah. Di sinilah akar permasalahannya. Rasa takut untuk ikut terlibat akan menimbulkan gunjingan yang menistakan."

    Ola amat senang untuk berbicara. Saya kira dia punya bakat menjadi seniwati jika ada yang dapat mengarahkannya. Kepekaannya pada sifat manusia. Kepahamannya pada situasi masyarakatnya. Di sanalah, di tepi kuala itu, kami sering duduk berhadap-hadapan dan bertutur tentang apa saja. Tentang dunia, tentang Tuhan. Dan nasib. Tetapi aku belum mampu untuk mengorek isi hatinya lebih dalam lagi. Khususnya misteri tentang ayah dari bayi kembarnya itu. Hingga suatu ketika, dia bertutur demikain padaku:

    "Memang" katanya, "Hidup akan selalu menyenangkan bagi orang yang pandai bertutur. Orang yang pandai mengambil hati. Bahkan orang yang pandai menilai sesuatu walau penilaiannya layak dipertanyakan. Ya, orang-orang itu, dapatkah dia memahami isi kisahnya? Dapatkah dia mengetahui sesuatu yang tersembunyi di balik dinding? Sesuatu yang dijaga ketat demi tanggung jawab yang diciptakan oleh masyarakat sendiri? Tidak! Kita sering pura-pura mengetahui sesuatu sambil mencemooh. Tiap orang layak mempunyai rahasianya sendiri-sendiri. Tidak setiap soal dapat dipampang seperti buku yang terbuka dan tiap saat siap untuk dibacakan."

    Sambil berkata demikian, dia pun terisak-isak. Aku sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Hanya berdiam diri sambil bersandar pada batang pohon coklat ini dan memandangi hempasan air yang butiran kecilnya memerciki wajahku. Setelah sesaat tenang, dia melanjutkan kisahnya:

    "Ada satu malam yang kelam bagiku. Saat itu malam Natal. Dan sepulang dari mengikuti misa di gereja, aku segera tertidur dengan nyenyak karena lelah seharian bertugas menghias di sana. Saat itu hujan turun dengan deras. Suara bising dari hempasan hujan bergemuruh di atap kamarku yang terbuat dari seng. Seperti anda tahu, Abe kakakku telah lama menghilang di kota. Bahkan hingga saat ini pun dia belum pernah mengirim kabar kemari. Dan seperti biasa malam-malam sebelumnya, ayahku belum pulang. Maka aku cepat terlelap. Menjelang fajar, tidak kuketahui persisnya pukul berapa saat itu, sesosok tubuh memasuki kamarku. Dia memperkosa aku. Ya Tuhan, walau saat itu cuaca amat gelap, namun aku mengenali bau tuak yang amat keras dan memenuhi rongga dadaku. Suatu rasa takut melandaku setelah peristiwa itu. Aku tidak melihat dentgan jelas sosok itu tetapi aku tahu siapa dia. Dan aku juga tak berani untuk melaporkannya. Karena di mana muka keluargaku jika orang-orang tahu siapa pelakunya? Bagiku sendiri, biarlah rahasia itu tetap tersembunyi di balik kegelapan malam. Yang tak pernah kuduga ialah, aku ternyata hamil. Seringkali aku mengawasi dia, asal muasal segenap derita ini. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Dia sendiri tidak pernah berkata apa-apa tentang kejadian malam itu. Dia hanya diam membisu. Maka aku pun hanya menyimpannya dengan rapih di balik rahasia hidupku."

    Ola terdiam sejenak. Matanya nampak menerawang jauh. Dia memandangku dengan tajam, membuatku gelisah. Aku takut untuk berpikir macam-macam, tetapi ada suara dalam hatiku yang berbisik: "Ya, aku juga tahu siapa pelakunya" Tetapi apa yang dapat kulakukan untuk menghiburnya? Mulutku terkunci. Matanya perlahan berkaca-kaca, tetapi raut mukanya mengeras. Hatiku merasa tertikam. Memang, hidup punya dinding yang sulit ditembusi. Dan tak baik untuk ditembusi. Karena aku pun akan ikut terluka bila menerobos masuk.

    Maka," setelah berdiam diri sejenak, dia pun melanjutkan kisahnya, "Aku pun meninggalkan Buang walau sanubariku tak mampu kubohongi bahwa aku menyukainya. Aku takut dia tak bisa memahami hal itu. Hidup bagiku, telah berubah. Aku tidak lagi peduli masyarakat. Masyarakat yang munafik. Masyarakat yang sok suci itu telah melukaiku dengan amat dalam. Maka aku tidak butuh lagi mereka. Aku adalah insan yang telah terbuang...."

    Suasana di antara kami mendadak hening. Sesekali dia menarik nafas panjang. Selain itu hanya terdengar sayup-sayup gemercik suara air. Angis mengusap wajahku, dingin. Tetapi hatiku jauh lebih dingin terasa. Matahari tergantung di atas bukit, tajam menyengat. Tetapi ada sengatan yang lebih memilukan dalam jiwaku. Hidup adalah kesenangan bagi sebagian orang. Tetapi bisa menjadi derita bagi yang lainnya, Adakah ini memang nasib? Atau suatu kebetulan bahwa suatu kekejian melanda seseorang sementara yang lain dilimpahi kebahagiaan. Tak tahulah aku.

    Hari demi hari lewat. Ketika tiba saatnya aku harus kembali ke kota, terasa berat bagiku untuk menyampaikannya. Orang-orang terbuang sering membutuhkan persahabatan agar dia mampu menilai kembali hidup mereka. Tetapi sayangnya bahwa hanya sedikit atau bahkan sering tak ada yang mampu memahami mereka. Dan jika mereka gagal menemukan seseorang yang mampu memahami, hancurlah segalanya.

    Aku dan Ola menjadi akrab terutama karena satu hal. Aku seorang asing yang tidak terlalu berkepentingan dengan nama dan status di dusun itu. Ola sendiri telah kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dusunnya. Karena itu dia membuka diri padaku, seorang asing yang tak dikenal. Yang jika saatnya tiba, dan itu memang tidaklah lama, akan segera sirna. Menguap dan hilang dalam keterasingannya. Aku kerap ke rumahnya dan bermain-main dengan sepasang bayi kembarnya. Mereka bayi yang munggil, bayi yang sama sekali tidak berdosa tetapi telah menanggung beban hanya karena mereka tak diketahui asal usulnya. Tetapi bagaimana pun, hidupku ada di kota dan karena itu aku harus kembali ke sana. Tugasku di sini telah usai. Hal ini merupakan suatu kepastian.

    Maka malam itu, malam terakhirku di desa yang telah kudiami selama tiga minggu, aku datang menemuinya. Seperti biasanya, ayahnya belum kelihatan ketika aku tiba di sana. Kabarnya, seringkali dia digotong pulang oleh para tetangganya, setelah ditemukan tergeletak di sisi jalan karena mabuk. Malam itu langit cerah dan jutaan bintang memahkotainya denga kerlap-kerlipnya yang indah. Bulan sabit menggantung di langit timur. Aku melihatnya duduk di balai dekat jendela, diterangi lampu 15 watt. Sepasang bayinya tertidur dengan nyenyak di dalam kotak yang terbuat dari anyaman rotan beralaskan tilam kecil. Dan diselimuti sarung tua warna ungu. ("Sarung antik" katanya padaku suatu ketika)

    "Selamat malam" sapaku pelan

    "Malam, apa kabar Rob?"

    "Baik, puji Tuhan. Semoga kalian juga demikian"

"Ah sudah lama kami baik-baik saja tanpa Dia. Toh Dia pun telah melupakan kami"

"Jangan begitu dong. Tuhan itu takkan melupakan domba-dombaNya. Percayalah, Dia mungkin sedang merencanakan sesuatu yang besar dengan memberimu cobaan ini..."

"Tak tahulah, rasanya Dia kian jauh saja dariku..."

Kami berdiam diri sejenak. Aku tak tahu apa yang harus kuucapkan. Maka kemudian aku bertutur tentang dunia yang lain dari desanya ini. Tentang nyanyian gelombang di pantai. Tentang angin laut. Tentang ratusan burung camar yang terbang beriringan. Dia mendengarkan ceritaku denga senang. Maka aku lalu berkata:

"Ola, besok aku akan ke dunia itu lagi. Aku akan kembali ke kota kelahiranku. Kembali ke orang-orang yang kusayangi, yang mungkin telah menantikanku. Entah bagaimana kelak jadinya, hidup pasti berlanjut terus. Sebab itu, harapanku, janganlah putus asa. Jangan pernah putus asa. Milikilah harapan, apa pun bentuk harapan itu. Hanya itu yang aku kehendaki buatmu..."

Ola memandangku. Mulutnya membisu. Matanya, ya matanya itu takkan kulupa seumur hidupku, mulai berair. Jantungku terasa tertikam. Aku menyayanginya, bisikku, Aku menyayanginya, tetapi kami tak mungkin menyatu. Terlalu banyak hal yang mengikatku. Ataukah aku takut mengambil suatu keputusan saat itu? Aku takut, kuakui itu. Dan dialah kemudian yang memecahkan keheningan kami:

"Aku tahu Rob, ini mesti terjadi juga. Tetapi paling tidak, kau telah mengukir kenangan indah di jiwaku yang papa ini. Bahwa pada akhirnya, ada juga yang mau dan sanggup memahami hidupku. Nasibku memang malang, tetapi perasaanku tak mungkin berbohong. Aku sayang kau. Selamat jalan dan semoga kau dilindungi oleh Tuhan selalu"

Dia menghampiri diriku, bola matanya bersinar-sinar dan kemudian dia memelukku. Dia yang jauh lebih muda dariku, tetapi aku merasa jauh lebih kecil darinya. Dia yang telah matang dalam derita. Sungguh pedih perasaanku saat itu. Dengan lembut, aku berusaha untuk melepaskan diriku. Aku khawatir peristiwa itu disaksikan orang lain sehingga dia kian menjadi bulan-bulanan.

    "Semoga Tuhan sertamu juga Ola"

Aku tidak menyampaikan lagi kata-kata yang panjang. Pun tidak juga kalimat yang dapat menghibur hatinya. Tidak, itu semua tak berguna sekarang. Perasaan kami telah berbicara banyak. Terlalu banyak.

    Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, aku meninggalkan desa itu. Aku tidak menyempatkan diri untuk mengunjunginya lagi. Bahkan lewat depan rumahnya pun tidak. Setiba di kota, aku menulis sepucuk surat kepadanya. Sebuah surat yang singkat:

"Betapa pun kita mesti hidup Ola. Dan di dalam proses untuk hidup, terbentanglah peristiwa yang harus kita hadapi. Peristiwa itu adalah kenyataan. Dan kenyataan itu, sepahit apa pun, adalah suatu kepastian yang harus dihadapi. Tugas kita dalam dunia ini adalah mempertanggungjawabkan segala peristiwa yang telah terjadi, terutama yang menyangkut diri sendiri. Apa pun hasilnya kelak, yang jelas kita harus bertahan untuk hidup. Sebab di dalam hiduplah akan kita temukan makna sejati keberadaan kita di dunia ini. Salamku untuku."

Surat itu sendiri tidak dibalasnya. Aku pun terbenam dalam kesibukanku sehari-hari. Dia hanya muncul sesekali dalam ingatanku tetapi dengan waktu yang kian jarang. Aku mulai melupakannya.

    Kini, segala kenangan itu muncul kembali saat aku memasuki desa ini. Seluruh peristiwa terbayang seakan-akan baru terjadi kemarin. Tetapi nampaknya telah banyak perubahan yang terjadi di sini. Jalanan yang dulu bopeng-bopeng, kini amat mulus. Beberapa rumah baru bermunculan, rumah yang terbuat dari beton dan bertingkat pula. Desa ini seakan meninggalkan masa lalunya ke balik malam. Rumah Ola sendiri telah lenyap, nampaknya tergusur oleh pelebaran jalan. Tetapi ketika aku mengunjungi kuala, tempat dulu aku berbincang-bincang dengannya, suasana yang kudapatkan masih tetap sama. Pohon coklat tempat dulu kami berteduh sambil ngobrol, masih tegak. Dia seakan menantang segala perubahan itu, menyembunyikan banyak rahasia alam sebagai saksi bisu dari nasib manusia yang pernah bernaung di bawahnya.

    Ola telah pergi. Ayahnya sendiri telah meninggal akibat lever yang rusak karena kegemarannya bermabuk-mabukan. Abe, kakak Ola juga tak pernah terdengar beritanya. Praktis, keluarga ini telah hilang dalam ingatan penduduk desa. Tak seorang pun yang tahu ke mana Ola. Apakah yang dilakukannya kini? Dari beberapa tetangganya, samar-samar diberitakan bahwa saat ini dia mungkin berada di ibukota. Aku tak tahu, peristiwa apa saja yang dialaminya. Aku berharap agar nasib baik mampir dalam hidupnya. Kini, rahasia itu disimpannya sendiri. Bagi orang-orang di desa kecil ini, nama Ola kian terlupakan. Dan memang, apakah arti sebuah nama di dalam kesibukan menghidupi hidup di jaman ini? Namun bagiku, kini, ada sesuatu yang terasa hilang dalam hatiku. Sesuatu yang terasa pedih. Nasib manusia sungguh terombang-ambing dalam sejarah dan waktu. Di manakah Tuhan?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...