02 Januari 2008

OMA

    Bukit gersang nampak berlarian. Bus melaju kencang. Oma yang duduk di sampingku melipat koran Kedaulatan Rakyat yang telah dibacanya sambil menghela nafas. Dia kemudian memandangku dan tersenyum. Tetapi nampak olehku raut kesedihan di wajahnya yang keriput.

"Aneh ya, segala sesuatu yang kita harapkan dalam dunia ini seringkali kandas saja. Dan kita tetap senang hidup bersama kebohongan-kebohongan diri bahwa segala sesuatunya baik saja"

"Ya nek" jawabku

"Apa sebabnya nak? Tentu itu karena ulah kita sendiri. Tapi sungguhkah manusia itu demikian jelek? Menurut pengalaman saya nak, tidak. Saya berani bertaruh bahwa sebagian besar manusia, saat terbangun di pagi hari, tidak bertekad untuk melakukan kejahatan. Tidak! Yang demikian hanya dipikirkan oleh segelintir orang-orang brengsek saja. Tetapi…….."

Dia menggelengkan kepalanya. Uban di rambutnya yang mulai menipis nampak jelas.

"Saya sudah tua" katanya lagi. "Sepanjang hidup saya telah berusaha untuk melakukan hal yang baik. Walau kadang saya juga melakukan ketidak-jujuran. Tetapi siapa sih yang tidak? Secara umum, saat saya akan tidur dan berdoa, saya katakan pada diriku sendiri bahwa hari itu telah berlalu dengan baik. Tetapi aneh juga bahwa saya masih saja kecewa dengan hidupku. Pahamkah kau nak?"

Aku diam saja. Tanganku menyentuh lengannya yang kurus. Tanda aku berupaya untuk memahami perasaannya.

"Bapak saya dulu mengajariku bahwa manusia tidak dapat hidup dengan dirinya saja. Kita harus ikut serta mengurus masyarakat dengan satu dan lain cara. Dia telah bekerja habis-habisan. Dan ketika merayakan lima puluh tahun masa kerjanya, dia menerima hadiah PHK. Dengan pesangon yang kecil, amat kecil."

Oma itu tersenyum lagi.

"Saya sendiri tidak mengikuti jejaknya. Saya bekerja di sebuah LSM, dalam bidang sosial. Saya merawat banyak anak-anak yang diabaikan oleh orang tuanya. Dan saya menerima banyak surat ucapan terima kasih karena pekerjaan saya itu. Tetapi selalu saja saya merasa bahwa saya yang bekerja, yang lain yang menerima penghargaan. Tidak, saya tidak iri. Saya tidak butuh bintang atau tanda jasa seperti para pejabat itu. Saya tidak memerlukan hal yang begitu."

Dia diam sejenak, lalu menyambung lagi:

"Beberapa bulan lagi saya akan pensiun. Saya sudah tua dan terus berjalan menuju akhir. Mungkin kelak saya akan mengencingi diriku, pikun dan tak berguna lagi. Sebelum semua ini berakhir, saya kira saya telah banyak melakukan hal yang baik. Tetapi toh saya tetap tidak puas dengan hidupku. Apa sih mauku sebenarnya?"

Lalu dia berkata sambil menatap langsung ke mataku,

"Saya menginginkan sekedar kegembiraan dan kehangatan. Sudah terlalu banyak saya melihat kebusukan manusia. Pada akhir perjalanan hidup ini saya mau mengalami sesuatu yang indah walau hanya sekali saja. Saya mau melihat manusia dapat berbuat hal lain selain dari saling membenci, saling mendendam dan saling membantai. Mengapa kita bisa begitu kejam? Kita 'kan bukan orang-orang jahat. Kita semua 'kan orang-orang baik, putera-putri Tuhan. Mari saling bermesraan, berkasih-kasihan sambil menyerukan semua manusia bersaudara. Nak, itulah yang ingin saya alami sebelum menutup mata."

Dengan lesu oma tua itu mengangkat bahunya,

"Tapi ah…………………"

Aku diam sambil melempar pandang ke luar. Pepohonan berlari kencang. Perbukitan berlari kencang. Bus berlari kencang.

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...